syaloom saudaraku semua!!!! hidup ini sungguh indah dan amat baik sebab TUHAN adalah gembala kita yang baik... terkadang kita masih ragu akan kasih YESUS yang senantiasa mengalir dalam hidup kita setiap saat lewat nafas yang masih di berikan kepada kita. oleh sebab itu marilah kita yakin dan percaya bahwa Tuhan adalah satu-satunya penolong dan penopang dalam hidup kita. apakah kita belum sadar bahwa Tuhan telah banyak berbuat baik dalam hidup kita senantiasa, dan mengapakah orang-orang masih meragukan akan kasih allah itu.
Selasa, 11 Oktober 2011
Sabtu, 17 September 2011
PERANG KOPI
Suatu penyerbuan Bugis yang diingat di
Toraja adalah peperangan yang dilancarkan di sekitar 1890, ketika
pedagang Bugis dari Sidenreng memulai berusaha untuk merebut kendali
dari kopi Toraja yang menguntungkan para pedagang dari Luwu'. Sedenreng
ingin mengalihkan perdagangan kopi dari pelabuhan Luwu ke pelabuhan
barat Sidenreng yaitu Pare-Pare. Pasukan dari Sidenreng, yang diperintah
oleh Ande Guru, memasuki Toraja tahun 1885 dengan beberapa dukungan
dari pemimpin-pemimpin Toraja yang juga ingin menentang Luwu' yang lebih
dari 10 tahun menikmati hasil perdagangan kopi.. Luwu' pada akhirnya
meminta bantuan dari Raja Bone, sekitar 1897 Raja Bone mengirim kekuatan
yang besar ke Toraja via Palopo, yang dipimpin oleh putranya, Patta
Punggawa (Bigalke 1981:49-58). Pasukan ini, menggunakan kuda dan
bersenjata senapan yang modern, yang dalam memori Toraja disebut
Passongkok borrong atau "kopiah-kopiah merah".
TARIAN PITU DARI TANA TORAJA
TARIAN PITU
(Tujuh Peradilan Adat Toraja)
(Tujuh Peradilan Adat Toraja)
(TORAJA DAN KEBUDAYANNYA /EDISI III / L.T. TANGDILINTIN / YALBU / 1978)
Sebelum
pemerintah Hindia Belanda menguasai Tana Toraja yaitu sebelum tahun
1906, di Tana Toraja berlaku peradilan adat Toraja yang dinamakan Tarian
Pitu atau Ra’ Pitu (tujuh bentuk peradilan) yang sampai sekarang masih
sering berlaku atau dilaksanakan pada pengadilan adat di tempat yang
jauh dari kota dimana sudah berlaku peradilan yang diatur oleh hukum
pengadilan negeri.Tujuh bentuk peradilan tersebut adalah cara mengadili atau menyelesaikan persengketaan atau pertentangan dari dua pihak yang bersengketa yang tak dapat lagi diselesaikan bersama dengan mempergunakan saksi-saksi dan bukti – bukti yang nyata yang dipergunakan oleh peradilan adat mendamaikan atau menyelesaikan persengketaan, maka diberikan kesempatan kepada kedua belah pihak yang bersengketa memilih salah satu dari ketujuh bentuk peradilan yang sudah tertentu itu untuk mengakhiri atau menyelesaikan perselisihan itu serta mendapatkan keputusan yang berlaku mutlak atau berkekuatan tetap.
Menurut sejarah Toraja umumnya dahulu kala seluruh daerah Tana Toraja menghormati dan mentaati peradilan dengan Tarian pitu karena berpangkal pada ajaran Aluk Todolo yang menyatakan bahwa peradilan demikian sejak dari dulu kala memang sudaha daerah adat, yang menurut mitos peradilan pitu serta sejarah peradilan di Tana Toraja terjadi dahulunya di atas langit pada waktu nenek pertama manusia belum turun ke bumi.
Itulah sebabnya maka seluruh masyarakat Toraja yang masih menganut Aluk Todolo sangat yakin dan percaya akan kekuatan dan kedudukan dari Tarian Pitu tersebut, yang dalam melaksanakannya harus terlebih dahulu dimintakan doa berkat dan kekuatan kepada sang Maha Kuasa serta dengan sumpah dan kutuk pula oleh penghulu Aluk Todolo kemudian peradilan ini dilaksanakan.
Juga peradilan dengan cara Tarian Pitu ini dilakukan jikalau tiba-tiba di suatu tempat tidak terdapat orang lain/pihak lain sebagai penengah dalam perselisihan dua orang yang berselisih, maka keduanya memilih saja salah satu dari ketujuh bentuk peradilan dari tarian Pitu, dan keduanya menyandarkan atau mendoakan kepada Yang maha Kuasa agar diberkati dalam perselisihan dengan penyelesaian cara melakukan Tarian Pitu.
Jika kedua yang berselisih terus melakukannya tanpa ada orang lain yang menyaksikannya, dan setelahs elesai ada pihak yang ternyata kalah, maka keduanya mentaatinya sebagai suatu keputusan yang berlaku mutlak dan ditaati keduanya.
Tarian Pitu tidak lain dari pada cara pertarungan secara langsung kedua pihak yang berselisih tanpa bantuan orang lain yang dilakukan dalam waktu singkat saja terus diketahui siapa yang bersalah atau kalah dan siapa yang benar atau menang, yang keduanya puas serta mentaatinya, karena diyakini telah mendapat berkat dari Tuhan yang maha Kuasa.
Tarian Pitu yang dimaksudkan tersebut di atas adalah masing-masing:
- Si Pentetean tampo/Siba’ta Tungga’ (perang tanding satu lawan satu), yaitu satu cara peradilan dari Tarian pitu yang paling berat karena perkelahian atau pertarungan satu lawan satu dengan menggunakan Tombak atau pedang yang tajam, yang dilakukan di atas pematang sawah dimana kiri kanannya digenangi air, atau dengan cara membuatkan satu kurungan dalam bentuk persegi empat yang dipagar kuat-kuat dan kedua orang yang brsengketa mengadu kekuatan dan ketangkasannya dalam kurungan atau gelanggang tersebut. Sebelum melakukan perkelahian keduanya disumpah oleh penghulu Aluk Todolo atau Tominaa dengan doa barang siapa yang tidak benar akan hancur dan kalah dan yang benar tidak akan apa-apa, sesudahnya digiring masuk ke gelanggang dengan disaksikan oleh keluarga kedua belah pihak. Pelaksanaan Sipentetean Tampo atau Siba’ta Tungga’ ini dihadiri pula oleh dewan pemerintah adat dimana keduanya mengadakan pertarungan itu, yang dalam waktu beberapa menit saja terjadi kurban dari kedua orang yang bertarung yang ada kalanya seorang kurban tetapia daerah ada pula yang kedua-duanya kurban (gugur). Hasil dari pertarungan itu setelah selesai segera diumumkan oleh dewan adat siapa yang kalah dan siapa yang menang dimana seluruh keluarganya menerima sebagai suatu keputusan yang berlaku mutlak, karena didasarkan atas keyakinan mereka bahwa kebenaran yang berbicara yang dalam masyarakat Toraja dikatakan Ma’pesalu artinya sesuai kebenaran.
- Siukkunan, yaitu satu cara peradilan dimana kedua belah pihak yang berselisih disuruh menyelam bersama-sama ke dalam air sungai dan barang siapa yang lebih dulu muncul di permukaan air maka dialah yang kalah dalam perselisihan, yang juga sebelum melakukan itu keduanya disumpah lebih dulu oleh penghulu Aluk Todolo. Hasil pertarungan dengan menyelam ini segera diumumkan oleh dewan adat sebagai suatu keputusan yang berlaku mutlak atau berkekuatan tetap.
- Sipakoko, yaitu suatu cara peradilan dimana dua orang bersengketa/berselisih disuruh mencelupkan tangan ke dalam air panas yang mendidih, juga didahului dengan doa dan kutuk dari penghulu Aluk Todolo kemudian secara serentak keduanya mencelupkan tangan ke dalam air panas, dan barang siapa yang lebih dahulu menarik tangannya dari dalam air panas, maka dialah yang dinyatakan kalah dalam perselisihan itu yang hasilnya segera diumumkan oleh dewan adat sebagai keputusan yang berlaku mutlak dan berkekuatan tetap.
- Silondongan, yaitu suatu cara peradilan dari dua orang atau pihak yang berselisih dimana kedua belah pihak memilih satu ayam jantan masing – masing kemudian diserahkan kepada penghulu Aluk Todolo untuk dikutuk dan didoakan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan kedua ayam itu dipakaikan taji atau pisau, dan dipertarungkan pada saat itu juga dihadapan Dewan Adat dimana kedua belah pihak yang bersengketa itu berada.Menurut keyakinan mereka itu bahwa orang yang benar ayamnya akan menang dan orang yang salah ayamnya akan kalah atau mati. Dan hasil pertarungan ayam ini segera diumumkan oleh Dewan Adat yang menghadirinya yang oleh kedua belah pihak mentaatinya sebagai keputusan yang berlaku mutlak dan berkekuatan tetap. Dahulu peradilan Silondongan ini tidak memakai pisau atau taji tetapi sekarang sudah memakai taji karena jikalau tidak memakai taji perkelahian dari dua ayam itu berlangsung lama dan tidak segera memberi keputusan. Menurut mithos dari peradilan silondongan ini adalah memang peradilan yang sudah terjadi di atas langit yang kemudian diturunkan ke bumi pada nenek manusia diikuti seterusnya oleh manusia.
- Sibiangan atau sire’tek, yaitu suatu cara peradilan yang sama dengan cara loterei dengan mempergunakan dua bila biang (semacam bambu) yang diberi tanda sebagai tanda pilihan dari orang yang bersengketa yaitu seorang memilih belakangnya dan seorang memilih mukanya, dan kedua pihak berselisih duduk berhadapan di depan penghulu aluk todolo untuk menerima kata – kata sumpah dan doa bahwa barang siapa yang salah akan kalah dan barang siapa yang benar akan menang atau selalu terbuka pilihannya. Cara demikian dilakukan tiga kali berturut yaitu biang dibuang dan siapa yang kurang pilihannya terbuka maka dia akan dinyatakan kalah yaitu dengan perbandingan dua banding satu (2:1) dan atau tiga berbanding nol (3 :0), dan yang mempunyai angka lebih banyak dialah yang dinyatakan benar dan segera diumumkan sebagai keputusan yang berlaku mutlak atau berkekuatan tetap.
- Sitempoan yang biasa disebut sisumpah, yaitu dua orang yang berselisih disuruh mengucapkan sumpah keduanya dihadapan dewan adat dimana doa = sumpah diucapkan oleh penghulu aluk todolo lebih dahulu kemudian diulangi dengan tidak salah – salah oleh yang bersengketa bergantian, yang isinya antara lain:“ Puang matua, deata titanan Tallu Esungganna, Tomembali puang laun rimpi’na lan tangngana padang sia tang laun pasitirona’ kameloan sia kamanamanan sae lakona ketangumpokadana’ tang tongan, ...dst. Artinya: Tuhan sang pencipta, Dewa-dewa sang pemeliharaan tiga serangkai dan leluhur akan menghancurkan aku dan penghidupanku serta akan mengutuk aku selama – lamanya jikalau aku tidak berkata benar, ...dst. Dalam mengucapkan sumpah demikian itu, juga menyebut jangka waktu berlakunya sumpah sebagai waktu tempat menunggu akibat-akibat dari sumpah seperti orangnya mati atau suatu malapetaka yang menimpa dirinya. Jangka waktu yang berlaku dalam menunggu hasil dari sumpah yang telah dilakukan itu, oleh masyarakat Toraja mengenal jangka waktu itu dalam 3 (tiga) hari, 6 (enam (hari), 30 (tiga puluh) hari, atau setahun padi (sekali panen). Perhitungan waktu-waktu tersebut dia ini adalah perhitungan waktu yang lasim dan selalu dipergunakan dalam pembagian waktu di Tana Toraja . Peradilan cara demikian berlaku pula pada dua orang yang bersengketa dimana tak ada orang lain sebagai penengah yang dinamakan Sisumpah atau Sipenggatan, yaitu keduanya menyumpah diri berganti-ganti, yang sangat banyak kejadiannya di dalam masyarakat Toraja dengan memegang barang yang menjadi sengketa lalu bersumpah kedua orang yang sedang memegang barang itu. Peradilan sitempoan ini mulai mengalami perubahan sewaktu pengaruh-pengaruh dari luar masuk di Tana Toraja karena cara demikian itu dianggap terlalu kejam karena jikalau dikalah dalam Sitempoan berarti dikalah dua kali yaitu sudah korban dan kemudian dikalah lagi, maka waktu pengaruh Islam mulai masuk yang disusul dengan pengaruh peradilan pemerintah Belanda yang menyatakan bahwa pengambilan sumpah adalah pembuktian kebenaran masalah, dan jikalau seseorang bersedia disumpah maka sumpahnya itu dipercaya dan ketidakbenarannya atau sumpah palsunya sudah ditebus dengan pertaruhan nyawanya. Karena peradilan Sitempoan sudah berubah statusnya sejak beberapa puluh tahun, maka peradilan ini tidak ditakuti lagi oleh masyarakat, karena dianggap sudah agak enteng yaitu asal jangan dikalah biarlah disumpah saja sekalipun ada akibatnya nanti, dan inilah menyebabkan timbulnya sumpah palsu. Pengambilan sumpah pada peradilan adat Toraja masih sering pula terjadi di antara orang yang bersengketa tetapi pelaksanaannya sama dengan cara – cara pengambilan sumpah pada peradilan negeri.
- Sirari Sangmelambi’, yaitu satu cara peradilan dalam bentuk perang kelompok yang hanya dilakukan pada subuh dan pagi hari (sirari= perang; sangmelambi’= sepagi). Perang sepagi atau Sirari sangmelambi’ ini adalah bentuk peradilan yang paling akhir terjadi dari pada Tarian Pitu tersebut yaitu peradilan yang menggantikan peradilan adu kekuatan dengan tarik menarik dan tolak menolak seperti yang pernah terjadi dalam pembagian daerah Padang di Puangngi Tallu lembangna, pertarungan adu kekuatan merebut kedudukan yang teratas. Sirari Sangmelambi’ ini ialah seorang atau satu pihak mengarak atau mengumpulkan pengikut lalu menentukan batas untuk diperebutkan siapa yang dapat melintasinya. Sirari Sangmelambi’ ini benar-benar perang mempertahankan daerah tertentu yang dilalukan hanya pada subuh sampai matahari terbit harus dihentikan. Masing-masing pihak mempertahankan daerahnya dimana terdapat satu pihak penengah yang akan menyaksikan peperangan sepagi itu serta mengawasi jikalau sudah ada diantara yang berperang itu korban, dan jikalau dalam perang terus ada yang korban terus pihak penengah yang mengikutinya berteriak sebagai tanda berhenti karena sudah ada bukti kekalahan yang dikatakan To’domo Damo’ artinya sudah ada yang luka. Pihak yang luka dinyatakan terus kalah sekalipun kekuatannya lebih besar, dan pada saat itu peperangan terus dihentikan, dan ada yang luka itu dikatakan kalah perang dan disebut To Ditalo (orang yang kalah), dan segera penguasa adat sebagai penengah mengumumkan siapa yang kalah itu. Sirari Sangmelambi’ itu biasanya dilakukan oleh satu rumpun keluarga atau oleh satu penguasa adat terhadap penguasa adat lainnya yang Sirari Sangmelambi’ ini sangat besar akibatnya tidak sama dengan Tarian Pitu yang lain tersebut diatas. Sering terjadi yang kalah harus menyerahkan seluruh harta bendanya kepada yang menang, dan penyerahan harta keseluruhan itu dikatakan di pakalao. Sirari sangmelambi’ itu sering terjadi pada waktu mulai berkecamuknya perang saudara di Tana Toraja yaitu sekitar tahun 1800 sampai pada datangnya pemerintahan Belanda.
SUKU TORAJA
Suku
Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi
Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 600.000 jiwa.
Mereka juga menetap di sebagian dataran Luwu dan Sulawesi Barat.
Nama
Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidenreng dan dari Luwu. Orang
Sidenreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja yang
mengandung arti “Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan”,
sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah “orang yang
berdiam di sebelah barat”. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal
To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang
besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan
kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal
kemudian dengan Tana Toraja.
Wilayah
Tana Toraja juga digelar Tondok Lili’na Lapongan Bulan Tana Matari’
Allo arti harfiahnya adalah “Negri yang bulat seperti bulan dan
matahari”. Wilayah ini dihuni oleh satu etnis (Etnis Toraja).
Mitos
Menurut
mitos, leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana,
mitos yang tetap melegenda turun temurun hingga kini secara lisan
dikalangan masyarakat Toraja ini menceritakan bahwa nenek moyang
masyarakat Toraja yang pertama menggunakan “tangga dari langit” untuk
turun dari nirwana, yang kemudian berfungsi sebagai media komunikasi
dengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa - dalam bahasa Toraja).
Lain
lagi versi dari DR. C. CYRUT seorang anthtropolog, dalam penelitiannya
menuturkan bahwa masyarakat Tana Toraja merupakan hasil dari proses
akulturasi antara penduduk lokal yang mendiami daratan Sulawesi Selatan
dengan pendatang yang notabene adalah imigran dari Teluk Tongkin
(daratan Tiongkok). Proses akulturasi antara kedua masyarakat tersebut,
berawal dari berlabuhnya Imigran Indochina dengan jumlah yang cukup
banyak di sekitar hulu sungai yang diperkirakan lokasinya di daerah
Enrekang, kemudian para imigran ini, membangun pemukimannya di daerah
tersebut.
Aluk
Aluk
adalah merupakan budaya/aturan hidup yang dibawa oleh kaum imigran dari
dataran Indochina pada sekitar 3000 tahun sampai 500 tahun sebelum
masehi.
Aluk Sanda Saratu
Tokoh
penting dalam penyebaran aluk ini antara lain: Tomanurun Tambora Langi’
yang merupakan pembawa aluk Sabda Saratu yang mengikat penganutnya
dalam daerah terbatas yakni wilayah Tallu Lembangna.
Aluk Sanda Pitunna (7777777)
Wilayah barat
Tokoh
penting dalam penyebaran aluk ini di wilayah barat Tana Toraja yaitu :
Pongkapadang bersama Burake Tattiu’ yang menyebarkan ke daerah
Bonggakaradeng, sebagian Saluputti, Simbuang sampai pada Pitu Ulunna
Salu Karua Ba’bana Minanga, dengan memperkenalkan kepada masyarakat
setempat suatu pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja “to
unnirui’ suke pa’pa, to ungkandei kandian saratu yakni pranata sosial
yang tidak mengenal strata.
Wilayah timur
Di
wilayah timur Tana Toraja, Pasontik bersama Burake Tambolang
menyebarkannya ke daerah Pitung Pananaian, Rantebua, Tangdu, Ranteballa,
Ta’bi, Tabang, Maindo sampai ke Luwu Selatan dan Utara dengan
memperkenalkan pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja : “To
Unnirui’ suke dibonga, To unkandei kandean pindan”, yaitu pranata sosial
yang menyusun tata kehidupan masyarakat dalam tiga strata sosial.
Wilayah tengah
Tangdilino
bersama Burake Tangngana menyebarkan aluk ke wilayah tengah Tana Toraja
dengan membawa pranata sosial “To unniru’i suke dibonga, To ungkandei
kandean pindan”.
Kesatuan adat
Seluruh
Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo ( wilayah Tana Toraja) diikat
oleh salah satu aturan yang dikenal dengan nama Tondok Lepongan Bulan
Tana Matari’ Allo yang secara harafiahnya berarti “Negri yang bulat
seperti bulan dan Matahari”. Nama ini mempunyai latar belakang yang
bermakna, persekutuan negeri sebagai satu kesatuan yang bulat dari
berbagai daerah adat. Ini dikarenakan Tana Toraja tidak pernah
diperintah oleh seorang penguasa tunggal, tetapi wilayah daerahnya
terdiri dari kelompok adat yang diperintah oleh masing-masing pemangku
adat dan ada sekitar 32 pemangku adat di Toraja.
Karena
perserikatan dan kesatuan kelompok adat tersebut, maka diberilah nama
perserikatan bundar atau bulat yang terikat dalam satu pandangan hidup
dan keyakinan sebagai pengikat seluruh daerah dan kelompok adat
tersebut.
Upacara adat
Di
wilayah Kab. Tana Toraja terdapat dua upacara adat yang amat terkenal ,
yaitu upacara adat Rambu Solo’ (upacara untuk pemakaman) dengan acara
Sapu Randanan, dan Tombi Saratu’, serta Ma’nene’, dan upacara adat Rambu
Tuka. Upacara-upacara adat tersebut di atas baik Rambu Tuka’ maupun
Rambu Solo’ diikuti oleh seni tari dan seni musik khas Toraja yang
bermacam-macam ragamnya.
Rambu Solo
Adalah
sebuah upacara pemakaman secara adat yang mewajibkan keluarga yang
almarhum membuat sebuah pesta sebagai tanda penghormatan terakhir pada
mendiang yang telah pergi.
Tingkatan upacara Rambu Solo
Upacara Rambu Solo terbagi dalam beberapa tingkatan yang mengacu pada strata sosial masyarakat Toraja, yakni:
- Dipasang Bongi: Upacara pemakaman yang hanya dilaksanakan dalam satu malam saja.
- Dipatallung Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama tiga malam dan dilaksanakan dirumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan.
- Dipalimang Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama lima malam dan dilaksanakan disekitar rumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan.
- Dipapitung Bongi:Upacara pemakaman yang berlangsung selama tujuh malam yang pada setiap harinya dilakukan pemotongan hewan.
Upacara tertinggi
Biasanya
upacara tertinggi dilaksanakan dua kali dengan rentang waktu sekurang
kurangnya setahun, upacara yang pertama disebut Aluk Pia biasanya dalam
pelaksanaannya bertempat disekitar Tongkonan keluarga yang berduka,
sedangkan Upacara kedua yakni upacara Rante biasanya dilaksanakan
disebuah lapangan khusus karena upacara yang menjadi puncak dari prosesi
pemakaman ini biasanya ditemui berbagai ritual adat yang harus
dijalani, seperti : Ma’ tundan, Ma’balun (membungkus jenazah), Ma’roto
(membubuhkan ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah), Ma’
Popengkalao Alang (menurunkan jenazah ke lumbung untuk disemayamkan),
dan yang terkahir Ma’ Palao (yakni mengusung jenazah ketempat
peristirahatan yang terakhir).
Berbagai kegiatan budaya yang menarik dipertontonkan pula dalam upacara ini, antara lain :
- Mapasilaga tedong (Adu kerbau), kerbau yang diadu adalah kerbau khas Tana Toraja yang memiliki ciri khas yaitu memiliki tanduk bengkok kebawah ataupun kerbau yang berkulit belang (tedang bonga), tedong bonga di Toraja sangat bernilai tinggi harganya sampai ratusan juta; Sisemba (Adu kaki)
- Tari tarian yang berkaitan dengan ritus rambu solo seperti : Pa’Badong, Pa’Dondi, Pa’Randing, Pa’Katia, Pa’papanggan, Passailo dan Pa’pasilaga Tedong; Selanjutnya untuk seni musiknya: Pa’pompang, Pa’dali-dali dan Unnosong.;
- Ma’tinggoro tedong (Pemotongan kerbau dengan ciri khas masyarkat Toraja, yaitu dengan menebas kerbau dengan parang dan hanya dengan sekali tebas), biasanya kerbau yang akan disembelih ditambatkan pada sebuah batu yang diberi nama Simbuang Batu.
Kerbau
Tedong Bonga adalah termasuk kelompok kerbau lumpur (Bubalus bubalis)
merupakan endemik spesies yang hanya terdapat di Tana Toraja. Ke-sulitan
pembiakan dan kecenderungan untuk dipotong sebanyak-banyaknya pada
upacara adat membuat plasma nutfah (sumber daya genetika) asli itu
terancam kelestariannya.
Menjelang
usainya Upacara Rambu Solo’, keluarga mendiang diwajibkan mengucapkan
syukur pada Sang Pencipta yang sekaligus menandakan selesainya upacara
pemakaman Rambu Solo’.
Rambu Tuka
Upacara
adat Rambu Tuka’ adalah acara yang berhungan dengan acara syukuran
misalnya syukuran panen dan peresmian rumah adat/tongkonan yang baru,
atau yang selesai direnovasi; menghadirkan semua rumpun keluarga, dari
acara ini membuat ikatan kekeluargaan di Tana Toraja sangat kuat semua
Upacara tersebut dikenal dengan nama Ma’Bua’, Meroek, atau Mangrara
Banua Sura’.
Untuk
upacara adat Rambu Tuka’ diikuti oleh seni tari : Pa’ Gellu, Pa’
Boneballa, Gellu Tungga’, Ondo Samalele, Pa’Dao Bulan, Pa’Burake,
Memanna, Maluya, Pa’Tirra’, Panimbong dan lain-lain. Untuk seni musik
yaitu Pa’pompang, pa’Barrung, Pa’pelle’. Musik dan seni tari yang
ditampilkan pada upacara Rambu Solo’ tidak boleh (tabu) ditampilkan pada
upacara Rambu Tuka’.
Nilai Tradisi Vs Keagamaan
DALAM
kepercayaan asli masyarakat Tana Toraja yang disebut Aluk Todolo,
kesadaran bahwa manusia hidup di Bumi ini hanya untuk sementara, begitu
kuat. Prinsipnya, selama tidak ada orang yang bisa menahan Matahari
terbenam di ufuk barat, kematian pun tak mungkin bisa ditunda.
Lalu,
ke manakah hidup setelah mati? Sesuai mitos yang hidup di kalangan
pemeluk kepercayaan Aluk Todolo, seseorang yang telah meninggal dunia
pada akhirnya akan menuju ke suatu tempat yang disebut puyo; dunia
arwah, tempat berkumpulnya semua roh. Letaknya di bagian selatan tempat
tinggal manusia. Hanya saja tidak setiap arwah atau roh orang yang
meninggal itu dengan sendirinya bisa langsung masuk ke puyo. Untuk
sampai ke sana perlu didahului upacara penguburan sesuai status sosial
semasa ia hidup. Jika tidak diupacarakan atau upacara yang dilangsungkan
tidak sempurna sesuai aluk (baca: ajaran dan tata cara peribadatan),
yang bersangkutan tidak dapat mencapai puyo. Jiwanya akan tersesat.
“Agar
jiwa orang yang ’bepergian’ itu tidak tersesat, tetapi sampai ke
tujuan, upacara yang dilakukan harus sesuai aluk dan mengingat pamali.
Ini yang disebut sangka’ atau darma, yakni mengikuti aturan yang
sebenarnya. Kalau ada yang salah atau biasa dikatakan salah aluk (tomma’
liong-liong), jiwa orang yang ’bepergian’ itu akan tersendat menuju
siruga (surga),” kata Tato’ Denna’, salah satu tokoh adat setempat, yang
dalam stratifikasi penganut kepercayaan Aluk Todolo mendapat sebutan
Ne’ Sando.
Selama
orang yang meninggal dunia itu belum diupacarakan, ia akan menjadi
arwah dalam wujud setengah dewa. Roh yang merupakan penjelmaan dari jiwa
manusia yang telah meninggal dunia ini mereka sebut tomebali puang.
Sambil menunggu korban persembahan untuknya dari keluarga dan kerabatnya
lewat upacara pemakaman, arwah tadi dipercaya tetap akan memperhatikan
dari dekat kehidupan keturunannya.
Oleh
karena itu, upacara kematian menjadi penting dan semua aluk yang
berkaitan dengan kematian sedapat mungkin harus dijalankan sesuai
ketentuan. Sebelum menetapkan kapan dan di mana jenazah dimakamkan,
pihak keluarga harus berkumpul semua, hewan korban pun harus disiapkan
sesuai ketentuan. Pelaksanaannya pun harus dilangsungkan sebaik mungkin
agar kegiatan tersebut dapat diterima sebagai upacara persembahan bagi
tomembali puang mereka agar bisa mencapai puyo alias surga
Jika
ada bagian-bagian yang dilanggar, katakanlah bila yang meninggal dunia
itu dari kaum bangsawan namun diupacarakan tidak sesuai dengan
tingkatannya, yang bersangkutan dipercaya tidak akan sampai ke puyo.
Rohnya akan tersesat. Sementara bagi yang diupacarakan sesuai aluk dan
berhasil mencapai puyo, dikatakan pula bahwa keberadaannya di sana juga
sangat ditentukan oleh kualitas upacara pemakamannya. Dengan kata lain,
semakin sempurna upacara pemakaman seseorang, maka semakin sempurnalah
hidupnya di dunia keabadian yang mereka sebut puyo tadi.
To na indanriki’ lino
To na pake sangattu’
Kunbai lau’ ri puyo
Pa’ Tondokkan marendeng
Kita
ini hanyalah pinjaman dunia yang dipakai untuk sesaat. Sebab, di
puyo-lah negeri kita yang kekal. Di sana pula akhir dari perjalanan
hidup yang sesungguhnya.
Bisa
dimaklumi bila dalam setiap upacara kematian di Tana Toraja pihak
keluarga dan kerabat almarhum berusaha untuk memberikan yang terbaik.
Caranya adalah dengan membekali jiwa yang akan bepergian itu dengan
pemotongan hewan-biasanya berupa kerbau dan babi-sebanyak mungkin. Para
penganut kepercayaan Aluk Todolo percaya bahwa roh binatang yang ikut
dikorbankan dalam upacara kematian tersebut akan mengikuti arwah orang
yang meninggal dunia tadi menuju ke puyo.
Kepercayaan
pada Aluk Todolo pada hakikatnya berintikan pada dua hal, yaitu
padangan terhadap kosmos dan kesetiaan pada leluhur. Masing-masing
memiliki fungsi dan pengaturannya dalam kehidupan bermasyarakat. Jika
terjadi kesalahan dalam pelaksanaannya, sebutlah seperti dalam hal
“mengurus dan merawat” arwah para leluhur, bencana pun tak dapat
dihindari.
Berbagai
bentuk tradisi yang dilakukan secara turun-temurun oleh para penganut
kepercayaan Aluk Todolo-termasuk ritus upacara kematian adat Tana Toraja
yang sangat dikenal luas itu-kini pun masih bisa disaksikan. Meski
terjadi perubahan di sana-sini, kebiasaan itu kini tak hanya dijalankan
oleh para pemeluk Aluk Todolo, masyarakat Tana Toraja yang sudah
beragama Kristen dan Katolik pun umumnya masih melaksanakannya. Bahkan,
dalam tradisi penyimpanan mayat dan upacara kematian, terjadi semacam
“penambahan” dari yang semula lebih sederhana menjadi kompleks dan
terkadang berlebihan.
Sebagai
contoh, ajaran Aluk Todolo menghendaki agar orang yang meninggal dunia
harus segera diupacarakan dan secepatnya dikuburkan. Maksud dari ajaran
ini, seperti dikutip oleh M Ghozali Badrie dalam penelitiannya tentang
“Penyimpanan Mayat di Tana Toraja”, supaya keluarga yang ditinggalkan
dapat melaksanakan upacara-upacara lain yang bersifat kegembiraan.
Sebab, adalah pamali atau melanggar ketentuan aluk bila upacara
kegembiraan (rambu tuka’) dilaksanakan bila ada orang mati (to mate).
Lalu apa yang terjadi? Untuk mengatasi hal yang berlawanan ini,
masyarakat Tana Toraja lalu mengatakan, mayat tersebut belum mati,
tetapi dianggap sebagai orang yang masih sakit (to makula). Dengan
begitu, mereka yang ingin melaksanakan upacara rambu tuka’ tidak
terhalang hanya karena ada mayat di kampung tersebut.
Mengapa
tradisi yang berangkat dari kepercayaan Aluk Todolo itu masih terus
bertahan, bahkan di kalangan mereka yang sudah memeluk agama Kristen dan
Katolik? Memang tak mudah untuk menemukan jawabannya. Masing-masing
mempunyai argumentasi yang bila disederhanakan adalah wujud dari
pewarisan tradisi dan bukan esensi kepercayaannya sebagai bagian dari
agama masa lalu.
“Sebagai adat, saya tidak melihat adanya pertentangan dengan gereja,” kata Pastor Stanislaus Ambalinggi’ Damen.
Bahkan,
Pastor Stanislaus melihat kalau saja gereja bisa menangkap dasar dari
semua itu, ada kemungkinan iman Kristiani di kalangan pemeluk Katolik di
Tana Toraja akan lebih tertanam. “Ini yang kami usahakan, yakni
bagaimana mengungkapkan apa yang diimani orang Tana Toraja dalam adatnya
bisa saling isi dengan ajaran Kristiani,” kata putra ke-7 (alm) Felix
Damen, yang pada pekan ketiga Oktober lalu melangsungkan upacara
pemakaman adat Tana Toraja bagi orangtuanya.
Sebagai
orang Tana Toraja, Pastor Stanislaus menyatakan, upacara kematian untuk
sang bapak yang ia adakan bersama saudara-saudaranya itu lebih
dimaksudkan sebagai ungkapan kerinduan, ungkapan kasih, terhadap orang
yang sudah meninggal. Lebih dari itu, tambahnya, bagi orang Tana Toraja
ada kesadaran yang muncul lewat upacara semacam ini, yakni bahwa dunia
ini tidak habis setelah kita meninggal dunia. Sebaliknya, kehidupan yang
sesungguhnya masih akan dilanjutkan ke dunia di “seberang” sana.
“Upacara
ini hanya jalan saja untuk menuju ke dunia ’seberang’ sana itu. Ini
menyangkut kesadaran akan kehidupan rohani orang Tana Toraja,” katanya.
Menyimak
kenyataan yang terpapar, tampaknya tradisi yang diwariskan ajaran Aluk
Todolo-khususnya dalam ritus-ritus pada upacara kematian-masih akan
terus bertahan. Entah hingga kapan! Meski di lain pihak banyak yang
mengecam bahwa upacara semacam itu hanyalah bentuk lain dari pemborosan,
namun kuatnya ikatan sosial di Tana Toraja berikut sistem yang
melingkupinya- termasuk semangat per-”lomba”-an untuk meningkatkan
status dan gengsi dalam masyarakat-jangan-jangan justru akan semakin
mengukuhkan ritus-ritus semacam itu.
Atau, akankah suatu saat berbagai tradisi tersebut akan pupus, ditendang oleh kemajuan zaman?
“Saya
tidak khawatir ini semua akan hilang. Yang saya khawatirkan justru
kalau orang membuatnya sekadar untuk show, sebagai performace. Kalau itu
yang terjadi, cuma untuk gengsi-gengsian, kerugianlah yang didapat.
Upacara ini memang bukan show, tetapi penghayatan/doa kita pada yang
meninggal supaya hidupnya di sana menjadi baik,” kata Pastor Stanislaus.
Hal
senada juga dikemukakan Tinting dari desa adat Ke’te’ Kesu’. Dia
berkata, “Di satu sisi memang terlihat terjadi pemborosan. Padahal, di
balik itu semua ada falsafah lain. Falsafat hidup setelah mati.”
Jika demikian halnya, mengapa tidak sebaiknya upacara-upacara kematian itu disederhanakan?
Pemakaman
Peti
mati yang digunakan dalam pemakaman dipahat menyerupai hewan (Erong).
Adat masyarakat Toraja adalah menyimpan jenazah pada tebing/liang gua,
atau dibuatkan sebuah rumah (Pa’tane).
Beberapa kawasan pemakaman yang saat ini telah menjadi obyek wisata, seperti di :
- Londa, yang merupakan suatu pemakaman purbakala yang berada dalam sebuah gua, dapat dijumpai puluhan erong yang berderet dalam bebatuan yang telah dilubangi, tengkorak berserak di sisi batu menandakan petinya telah rusak akibat di makan usia. Londa terletak di desa Sandan Uai Kecamatan Sanggalai’ dengan jarak 7 km dari kota Rantepao, arah ke Selatan, Gua-gua alam ini penuh dengan panorama yang menakjubkan 1000 meter jauh ke dalam, dapat dinikmati dengan petunjuk guide yang telah terlatih dan profesional.
- Lemo adalah salah satu kuburan leluhur Toraja, yang merupakan kuburan alam yang dipahat pada abad XVI atau setempat disebut dengan Liang Paa’. Jumlah liang batu kuno ada 75 buah dan tau-tau yang tegak berdiri sejumlah 40 buah sebagai lambang-lambang prestise, status, peran dan kedudukan para bangsawan di Desa Lemo. Diberi nama Lemo oleh karena model liang batu ini ada yang menyerupai jeruk bundar dan berbintik-bintik.
- Tampang Allo yang merupakan sebuah kuburan goa alam yang terletak di Kelurahan Sangalla’ dan berisikan puluhan Erong, puluhan Tau-tau dan ratusan tengkorak serta tulang belulang manusia. Pada sekitar abad XVI oleh penguasa Sangalla’ dalam hal ini Sang Puang Manturino bersama istrinya Rangga Bualaan memilih goa Tampang Allo sebagai tempat pemakamannya kelak jika mereka meninggal dunia, sebagai perwujudan dari janji dan sumpah suami istri yakni “sehidup semati satu kubur kita berdua”. Goa Tampang Alllo berjarak 19 km dari Rantepao dan 12 km dari Makale.
- Liang Tondon lokasi tempat pemakaman para Ningrat atau para bangsawan di wilayah Balusu disemayamkan yang terdiri dari 12 liang.
- To’Doyan adalah pohon besar yang digunakan sebagai makam bayi (anak yang belum tumbuh giginya). Pohon ini secara alamiah memberi akar-akar tunggang yang secara teratur tumbuh membentuk rongga-rongga. Rongga inilah yang digunakan sebagai tempat menyimpan mayat bayi.
- Patane Pong Massangka (kuburan dari kayu berbentuk rumah Toraja) yang dibangun pada tahun 1930 untuk seorang janda bernama Palindatu yang meninggal dunia pada tahun 1920 dan diupacarakan secara adat Toraja tertinggi yang disebut Rapasan Sapu Randanan. Pong Massangka diberi gelar Ne’Babu’ disemayamkan dalam Patane ini. tau-taunya yang terbuat dari batu yang dipahat . Jaraknya 9 km dari Rantepao arah utara.
- Ta’pan Langkan yang berarti istana burung elang. Dalam abad XVII Ta’pan Langkan digunakan sebagai makam oleh 5 rumpun suku Toraja antara lain Pasang dan Belolangi’. Makam purbakala ini terletak di desa Rinding Batu dan memiliki sekian banyak tau-tau sebagai lambang prestise dan kejayaan masa lalu para bangsawan Toraja di Desa Rinding Batu. Dalam adat masyarakat Toraja, setiap rumpun mempunyai dua jenis tongkonan tang merambu untuk manusia yang telah meninggal. Ta’pan Langkan termasuk kategori tongkonan tang merambu yang jaraknya 1,5 km dari poros jalan Makale-Rantepao dan juga dilengkapi dengan panorama alam yang mempesona.
- Sirope yang artinya “bertemu” adalah salah satu tempat pekuburan yang merupakan situs purbakala, dimana masyarakat membuat liang kubur dengan cara digantung pada tebing atau batu cadas. Lokasinya 2 km dari poros jalan Makale-Rantepao.
Tempat upacara pemakaman adat
Rante
yaitu tempat upacara pemakaman secara adat yang dilengkapi dengan 100
buah menhir/megalit yang dalam Bahasa toraja disebut Simbuang Batu. 102
bilah batu menhir yang berdiri dengan megah terdiri dari 24 buah ukuran
besar, 24 buah ukuran sedang dan 54 buah ukuran kecil. Ukuran menhir ini
mempunyai nilai adat yang sama, perbedaan tersebut hanyalah faktor
perbedaan situasi dan kondisi pada saat pembuatan/pengambilan batu.
Megalit/Simbuang Batu hanya diadakan bila pemuka masyarakat yang
meninggal dunia dan upacaranya diadakan dalam tingkat Rapasan
Sapurandanan (kerbau yang dipotong sekurang-kurangnya 24 ekor).
Tau-tau
Tau-tau
adalah patung yang menggambarkan almarhum. Pada pemakaman golongan
bangsawan atau penguasa/pemimpin masyarakat salah satu unsur Rapasan
(pelengkap upacara acara adat), ialah pembuatann Tau-tau. Tau-tau dibuat
dari kayu nangka yang kuat dan pada saat penebangannya dilakukan secara
adat. Mata dari Tau-tau terbuat dari tulang dan tanduk kerbau. Pada
jaman dahulu kala, Tau-tau dipahat tidak persis menggambarkan roman muka
almarhum namun akhir-akhir ini keahlian pengrajin pahat semakin
berkembang hingga mampu membuat persis roman muka almarhum.
UMPOYA ANGIN SIA MANGRAMBU TAMPAK BULIAK
Umpoya angin (memukat angin) dan mangrambu tampak beluak
(mengupacarakan sisa/ujung rambut) adalah upacara Rambu Solo' menurut
Aluk Todolo tanpa jenazah tetapi hanya dengan membungkus angin atau
ujung kuku / rambut. Ini dilakukan jika orang yang akan diupacarakan
ternyata meninggal di luar daerah dan orang hanya membawa berita
kematiannya atau hanya ujung rambut atau kukunya.
Menurut Aluk Todolo setiap orang yang mati harus diupacarakan agar arwahnya dapat diterima sebagai arwah yang baik di Puya dan dapat menjadi Tomembali Puang yang memperhatikan keturunannya.
Oleh karena kewajiban daripada arwah serta keyakinan dalam Aluk Todolo, maka orang yang mati di luar daerahnya dapat diupacarakan dengan cara yang wajar sesuai dengan cara tertentu, namun mayatnya tidak diketahui tempatnya. Upacara untuk orang demikian ada 2 yaitu
Menurut Aluk Todolo setiap orang yang mati harus diupacarakan agar arwahnya dapat diterima sebagai arwah yang baik di Puya dan dapat menjadi Tomembali Puang yang memperhatikan keturunannya.
Oleh karena kewajiban daripada arwah serta keyakinan dalam Aluk Todolo, maka orang yang mati di luar daerahnya dapat diupacarakan dengan cara yang wajar sesuai dengan cara tertentu, namun mayatnya tidak diketahui tempatnya. Upacara untuk orang demikian ada 2 yaitu
- Di poyan angin, yaitu jika seseorang yang meninggal dan jasadnya tidak didapatkan atau tidak diketahui dimana letak jenasahnya, sehingga tidak didapatkan ujung rambut atau ujung kukunya ataupun pakaiannya, terutama orang yang tenggelam di laut, hilang di dalam hutan, maka orang yang mati itu harus diupacarakan dengan Upacara Dipoyang Angin yaitu seluruh keluarga dari yang mati pergi ke puncak gunung dan membawa sebuah sarung yang baru untuk memukat angain dengan sarung tersebut.Cara memukat angin ini adalah salah satu ujung sarung diikat kemudian diarahkan ke arah datangnya angin. Angin yang membuat sarung menggembung akan ditangisi oleh perempuan dan segera para pria akan mengikat ujung yang masih terbuka sehingga sarung akan terisi angin yang menggembung.Pada saat itu diyakinkan bahwa nyawa dan roh dari yang mati telah masuk ke dalam sarung tadi, dimana kemudian sarung yang berisi angin tersebut dibawa ke Tongkonan untuk selanjutnya dibungkus menyerupai bundaran balun dan dianggap sebagai jenasah dari orang yang mati. Replika jenasah ini kemudian diupacarakan sesuai dengan kasta dari orang yang mati. Pada umumnya Upacara Dipoyan Angin dilaksanakan dengan upacara dipasangbongi namun dengan memotong kerbau lebih dari satu ekor dimana kulit (balulang) salah satu kerbau yang dipotong itu tidak boleh dilepas tetapi diiris bersama dengan dagingnya.Kemudian Tominaa mengucapkan untaian kata dari atas menara daging (Bala’kayan Duku’) yang mengungkapkan kesetiaan dari keluarganya serta kematian dari si mati dan diyakini bahwa arwahnya dapat diterima dengan wajar di alam baka atau Puya
- Upacara Mangrambu Tampak Beluak, yaitu suatu upacara pemakaman dimana hanya ujung rambut atau kuku dan pakaian dari jenasah yang dibungkus, sedangkan jenasahnya dikuburkan jauh dari negerinya. Menurut keyakinan Aluk Todolo bahwa dengan adanya ujung rambut atau kuku, maka hal itu sama dengan jenasah aslinya dan diupacarakan sesuai dengan tingkatan kasta dari orang yang mati tersebut.Sering juga pihak keluarga pergi mengambil jenasah itu dengan menggali tulang belulang jenasah dan dibawa ke negerinya untuk diupacarakan. Pada saat menggali tulang belulang tersebut yang dinamakan Mangkaro batang Rabuk, maka harus diganti dengan menguburkan satu ekor hewan yang biasanya ayam atau babi.
PROSES UMUM RAMBU SOLO'
Adapun proses umum dalam acara kematian dan Rambu Solo' adalah sebagai berikut :
1. Ma’dio’
Tomate yaitu orang yang baru mati lalu diberi pakaian kebesarannya dan
perhiasan pusaka yang dihadiri oleh keluarga. Pada saat itu dipotong
seekor kerbau atau babi bagi Tana’ Bulaan dan Tana’ Bassi, dan dagingnya
dibagikan kepada keluarga yang hadir. Mulai saat itu sampai pelaksanaan
upacara Rambu Solo' jenasah masih dianggap orang sakit atau To Makula’.
2. Ma’doya
yaitu sebagai acara pertama dalam Rambu Solo' yang dikatakan Mangremba’
dengan sajian seekor ayam yang disembelih dengan memukulkan kepala
ayam. Saat itu jenasah sudah dianggap orang mati atau Tomate
3. Ma’balun
yaitu jenasah dibungkus dengan kain kafan (Dibalun) karena baru
dianggap sebagai orang mati. Bungkusan mayat berbentuk bulatan dan yang
membungkus mayat adalah petugas khusus yang dinamakan To Mebalun atau To Ma’kayo
4. Ma’bolong dimana secara resmi keluarga dinyatakan Maro’
5. Meaa
yaitu proses pengantaran jenasah ke liang kubur yang sejalan pula
dengan Ma’palao sampai mayat dimasukkan de dalam liang yang disebut
Ma’peliang.
6. Kumande yaitu acara dimana orang Maro’ sudah boleh makan nasi. Rentetan acara Kumande ini adalah Ussolan Bombo atau manglekan.
7. Untoe Sero
yaitu satu acara dengan kurban mengakhiri upacara Rambu Solo' dan
dilakukan di liang yang maksudnya hubungan antara yang mati dengan orang
hidup tidak ada lagi.
8. Membase (membersihkan)
yaitu upacara dari keluarga yang baru selesai mengadakan Rambu Solo'
dengan mengadakan kurban di atas Tongkonan yang maksudnya sudah lepas
dari ritual Rambu Solo' dan sudah boleh melakukan Rambu Tuka'.
9. Pembalikan Tomate, yaitu menempatklan arwah menjadi Tomembali Puang
Semua
proses di atas adalah proses umum pada Rambu Solo' namun setiap daerah
adat mempunyai cara atau penambahan tersendiri. Upacara khusus yang
merupakan upacara yang tidak mengikat waktu dan keharusan adalah Ma’nene’
yaitu upacara peringatan arwah leluhur atau Tomembali Puang saat
keluarga mendapat berkat. Upacara ini berbeda-beda untuk tiap daerah
adat tetapi maksud dan tujuannya sama.
RAMBU TUKA' & RAMBU SOLO'
Adapun tingkatan upacara Rambu Tuka' dari yang terendah sampai yang tertinggi adalah sebagai berikut :
1) Kapuran Pangngan
yaitu suatu cara dengan hanya menyajikan Sirih Pinang sementara
menghajatkan sesuatu yang kelak akan dilaksanakan dengan kurban – kurban
persembahan.
2) Piong Sanglampa,
yaitu suatu cara dengan menyajikan satu batang lemang dalam bambu dan
disajikan di suatu tempat atau padang/pematang atau persimpangan jalan yang maksudnya sebagai tanda bahwa dalam waktu yang dekat manusia akan mengadakan kurban persembahan.
3) Ma’pallin atau Manglika’ Biang, yaitu
suatu cara dengan kurban persembahan satu ekor ayam yang maksudnya
mengakui semua kekurangan dan ketidaksempurnaan manusia yang akan
melakukan kurban persembahan selanjutnya.
4) Ma’tadoran atau Menammu,
yaitu suatu cara dengan mengadakan kurban persembahan satu ekor ayam
atau seekor babi yang ditujukan kepada pemujaan Deata – Deata terutama
bagi Deata yang menguasai daerah tempat mengadakan kurban persembahan
itu. Ma’tadoran juga dilakukan jika melaksanakan upacara Pengakuan Dosa
yang disebut Mangaku–aku.
5) Ma’pakande Deata do Banua
(mengadakan kurban persembahan di atas Tongkonan). Nama Upacara ini
berbeda di tiap daerah adat tetapi pada dasarnya memiliki tujuan yang
sama yaitu dengan kurban persembahan seekor babi atau lebih sesuai
dengan ketentuan dari masing-masing daerah adat. Uapcara ini
dilaksanakan di atas Tongkonan karena Tongkonan sebagai tempat hidup
manusia yang mengadakan
kurban persembahan dan tujuannya memohon berkat atau bersyukur atas
kehidupan dari Sang Pemelihara atau Deata-Deata dan juga sebagai tempat
menghajatkan kurban persembahan. Ada daerah adat yang menyebut upacara
ini sebagai Ma’parekke Para.
6) Ma’pakande Deata diong padang
(mengadakan upacara di halaman Tongkonan), yaitu upacara kurban seekor
babi atau lebih yang dilaksanakan di halaman Tongkonan dari orang yang
mengadakan upacara. Tujuan upacara ini adalah memohon kepada
Deata-Deata supaya memberkati seluruh tempat atau Tongkonan tempat orang
merencanakan dan mengusahakan kurban persembahan seterusnya serta
tempat mendirikan Tongkonan. Ada daerah adat yang menamakannya sebagai Ma’tete Ao’.
7) Massura’ Tallang
adalah upacara yang dilaksanakan setelah selesai melaksanakan tingkatan
upacara yang lebih rendah seperti tersebut di atas. Upacara ini
dilaksanakan di depan Tongkonan agak sebelah timur. Upacara Massura’
Tallang merupakan upacara persembahan paling tinggi kepada Deata-Deata
sebagai Sang Pemelihara dengan kurban beberapa ekor babi, dimana
sebagian untuk persembahan dan sebagian lagi untuk dibagikan menurut
adat kepada masyarakat dan orang yang menghadiri upacara tersebut
utamanya kepada petugas adat dan agama Aluk Todolo. Upacara Massura’
Tallang ini dapat dilakukan oleh seluruh keluarga dari satu rumpun
keluarga atau boleh juga satu keluarga dalam mensyukuri kebahagiaan
keluarga itu, dimana dalam pembacaan Doa dan Mantra Sajian Kurban telah
diungkapkan pula keagungan dan kebesaran Puang Matua. Oleh karena itu,
upacara Massura’ Tallang berfungsi sebagai upacara pengucapan syukur
karena keberkatan dan upacara penahbisan atau pelantikan arwah leluhur
yang diupacarakan dengan upacara pemakaman Dibatang atau Didoya Tedong. Dengan selesainya upacara
ini, maka arwah dari leluhur secara resmi menjadi Setengah Deata yang
disebut Tomembali Puang (Sang Pengawas atau Pemberi Berkat manusia
turunannya). Upacara demikian disebut Manganta’ Pembalikan Tomate,
dan disebut demikian karena pada upacara ini diaturkan dekorasi hias
bermacam-macam pakaian dan perhiasan sebagai lambang dan perlengkapan
hidup dari sang leluhur di alam baka.
8) Merok, yaitu
upacara pemujaan kepada Puang Matua sebagai upacara pemujaan yang
tinggi dengan kurban Kerbau, Babi dan ayam. Pada upacara ini nama Puang
Matua yang selalu jadi pokok ungkapan dalam pembacaan mantra dan doa.
Kerbau yang dikurbankan pada upacara Merok ini adalah kerbau hitam
(Tedong Pudu’), karena tidak boleh menyajikan kurban kerbau yang
memiliki bintik putih yang dianggap sebagai kerbau yang cacat. Sebelum
kerbau ini dikurbankan dengan menggunakan Tombak (Dirok), terlebih dulu
kerbau ini Disurak (didoakan dalam suatu ungkapan hymne yang isinya
menceritakan kemuliaan Puang Matua dan segala ciptaannya serta kehidupan
manusia dan mengutuk pula perbuatan yang tidak baik dari manusia yang
disyaratkan dengan pernyataan melalui kurban kerbau tersebut). Dan
pelaksanaan pembacaan hymne semalam suntuk oleh Tominaa disebut Massurak Tedong atau Massomba Tedong, yang mana dalam Massomba Tedong ini diungkapkan tujuan dari keluarga mengadakan upacara Merok.
Adapun maksud dari upacara Merok ini adalah :
- Merok karena keberkatan
- Merok
untuk pelantikan atau peresmian arwah seorang leluhur menjadi Tomembali
Puang yang upacara pemakamannya dilakukan dengan upacara Rapasan oleh
Kasta Tana’ Bulaan. Upacara ini disebut Merok Pembalikan Tomate.
- Merok
dalam hubungan dengan selesainya pembangunan Tongkonan yang disebut
Merok Mangrara Banua, dan upacara ini hanya bagi Tongkonan yang berkuasa
seperti Tongkonan Layuk atau Tongkonan Pesio’ Aluk. Pada upacara ini
banyak babi yang dikurbankan yang sebagian dibagikan secara adat. Ada
beberapa daerah adat yang menyebut upacara ini dengan Ma’bate.
9) Ma’bua’ atau La’pa,
yaitu suatu tingkatan upacara Rambu Tuka' yang paling tinggi dalam Aluk
Todolo. Upacara ini dilaksanakan setelah menyelesaikan semua
upacara-upacara yang terbengkalai oleh keluarga atau daerah yang
mengadakan upacara Ma’bua’ tersebut. Hal ini karena upacara Ma’bua’
adalah upacara untuk mengakhiri seluruh upacara apapun dalam mensyukuri
seluruh kehidupan dan mengharapkan berkat serta perlindungan dari Puang
Matua, Deata-deata, dan Tomembali Puang.
Upacara
Ma’bua’ juga sebagai ungkapan syukur atas hewan ternak, tanaman dan
kehidupan manusia. Pada upacara Ma’bua’ atau La’pa, Puang Matua dipuja
dan dieluk-elukkan dengan beragam lagu dan tari yang memang khusus
diadakan untuk upacara Ma’bua’ tersebut.
Pada
upacara Ma’bua’ diadakan kurban persembahan kerbau sebagai kurban
persembahan utama yang jumlahnya bermacam-macam menurut ketentuan Lesoan
Aluk Tananan Bua’ tergantung pada masing-masing daerah adat atau
tergantung pada kemampuan keluarga. Ada kalanya Ma’bua’ ini diikuti oleh
satu daerah adat atau kelompok adat jika upacara ini menyangkut seluruh
masyarakat satu daerah serta keselamatan seluruh kehidupan dan disebut
sebagai Bua’ kasalle atau La’pa Kasalle (Bua’=perbuatan,
la’pa=kelepasan, kasalle=besar).
Upacara
Ma’bua’ ini adalah pusat dari semua upacara serta puncak dari semua
upacara dalam Aluk Todolo yang juga merupakan dasar pembagian daerah
adat Tondok Lepongan Bulan menjadi 3 daerah adat besar berdasarkan
Lesoan aluk tananan Bua’.
TOPADA TINDO TO MISA' PANGIMPI
DAFTAR NAMA TO PADATINDO, TOMISA’ PANGIMPI
UNTULAK BUNTUNNA BONE
ULLANGDA’ TO SENDANA BONGA
(Melawan Invasi Bone setelah mereka mengadakan Kombongan di Pata’padang, Sarira)
UNTULAK BUNTUNNA BONE
ULLANGDA’ TO SENDANA BONGA
(Melawan Invasi Bone setelah mereka mengadakan Kombongan di Pata’padang, Sarira)
- Pong Kalua’ (Penaa Batu Laulung) Randan Batu
- Sanda Kada (Rangga Lila) Limbu
- Pong Songgo (Bandangan Matipa) Limbu
- Karasiak Madandan
- Lando Aak Boto’
- Batara Langi’ Boto’
- Ambabunga’ Bombongan
- Pong Boro Tua Maruang
- Tumbang Datu Bokko
- Patobok Tokesan
- Kondopatalo Lampio
- Paliun Batualu
- Pagonggang Batualu
- Bongi Batualu
- Ne’ Lello Leatung
- Tomorere’ Gantaran
- Palondongan Simbuang
- To Gandang Sarapung
- Pagunturan Bebo’
- Tikuali Ba’tan
- To Bangkudu Tua Malenong
- Takia’ Bassi Angin-Angin
- Patabang Bunga’ Tadongkon
- Salle Karurung Paniki
- Kattu Buntao’
- Palinggi’ La’bo’
- Sa’bu’ Lompo Bonoran
- Ne’ Pirade Tonga
- Patasik / Pong Tasik Pao
- Ne’ Malo’ Tondon
- Poppata’ Nanggala
- Patora Langi’ Langda
- Ne’ Patana Kanuruan
- Bannelangi’ Kadundung
- Tibaklangi’ Saloso
- Ne’ Kalelean Rorre
- Banggai Salu
- Songgi Patalo Lemo
- Arring lan di Deata Mandetek
- Lunte Mariali
- Rere’ Lion
- Saarongre Tondok Iring
- Baanlangi’ Lapandan
- Marimbun Bungin
- Panggeso Tiromanda
- Sando Pasiu’ Pasang
- Tolanda’ Santung
- Bangke Barani Manggau
- Parondonan Ariang
- Sundallak Burake
- Panggalo Lemo Pa’buaran
- Bara’padang Gandang Batu
- Pong Arruan Sillanan
- Pong Dian Tinoring
- Tobo’ Tampo
- Pong Barani Marinding
- Pong Turo Baturondon
- Puang Balu Tangti
- Kulu-kulu Langi’ Palipu’
- Darra Matua Tengan
- Sarangnga’ Lemo Mengkendek
- Tanduk Pirri’ Ala’
- Pokkodo Tagari
- Kundubulaan (Mendila) Sa’dan
- Pangarungan Tallunglipu
- Taruk Allo Tallunglipu
- Tengkoasik Barana’
- Ne’ Rose’ Sangbua’
- Lotong Tara Bori’
- Allopaa Kayurame
- Rongre Langi’ Riu
- Tangkedatu Buntu Tondok
- Tolangi’ Pongsake
- Mendila Kila’ Rongkong
- Ne’ Darro Makki’
- Ne’ Mese’ Baruppu’
- Sarungngu’ Pangala’
- Bongga Pangala’
- Usuk Sangbamban To’tallang
- Ambe’ Bando’ Awan
- Ledong Bittuang
- Patikkan Bambalu
- Gandanglangi’ Mamasa
- Ne’ Darre Manipi
- Pong Rammang Piongan
- Tandiri Lambun Tapparan
- Batotoi Langi’ Malimbong
- Tandirerung Ulusalu
- Pakumpang Sangalla’/Buntao’
- Pong Manapa’ Se’seng
- Tokondo’ Buakayu
- Mangngi’ Rumandan Rano
- Mangape Mappa’
- Pappang Palesan
- Batara Bau Bau
- Pong Bakkula’ Redak
- Tangdierong/Todierong Baroko
- Bonggai Rano Balepe’
- To Layuk Simbuang
- Patittingan Talion
- To Isangan Tanete (Rano)
- Sodang Ratte Buakayu
- Lapatau Tombang Mappa’
- Torisomba Garappa’ Mappa’
- Sege’ Bassean Endekan
- Mangopo Sima Simbuang
- Ponipadang Makkodo Simbuang
- BAlluku’ Batutandung Mamasa
- Massanga Pana’ Mamasa
- Karrang Bulu Mala’bo’ Mamasa
- Buranda Tondon Kuang Batualu
- Sombolinggi’ To’Katapi Papa Tallang Batualu
- Agan Buntu Doan Batualu
- Sanggalangi’ Pantilang
- Talibarani Bokin
- Pong Sussang Ke’pe’ Ranteballa
- Paressean Karre
- Emba Bulaan Sikapa Ranteballa
- Arrang Bulawanna Lemo Ranteballa
- To Pajaoan Kandeapi Ranteballa
- Puang Direngnge’ Tabang Ranteballa
- Bakokang Lantio Ranteballa
- Pakabatunna Sesean
- Ne’ Bulu Tedong Pangala’
- Ne’ Tulla’ Kapala Pitu
- Padondan Tikala
- Bangkele Kila’ Akung
- Galugu Dua Balusu
- To Kalu Endekan
- To Layuk Baroko
- Mara’biang Bebo’
- Pabidang Buakayu
- Masuang Tangsa
- Pauang Malimbong
Langganan:
Komentar (Atom)

