Suku
Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi
Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 600.000 jiwa.
Mereka juga menetap di sebagian dataran Luwu dan Sulawesi Barat.
Nama
Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidenreng dan dari Luwu. Orang
Sidenreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja yang
mengandung arti “Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan”,
sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah “orang yang
berdiam di sebelah barat”. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal
To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang
besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan
kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal
kemudian dengan Tana Toraja.
Wilayah
Tana Toraja juga digelar Tondok Lili’na Lapongan Bulan Tana Matari’
Allo arti harfiahnya adalah “Negri yang bulat seperti bulan dan
matahari”. Wilayah ini dihuni oleh satu etnis (Etnis Toraja).
Mitos
Menurut
mitos, leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana,
mitos yang tetap melegenda turun temurun hingga kini secara lisan
dikalangan masyarakat Toraja ini menceritakan bahwa nenek moyang
masyarakat Toraja yang pertama menggunakan “tangga dari langit” untuk
turun dari nirwana, yang kemudian berfungsi sebagai media komunikasi
dengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa - dalam bahasa Toraja).
Lain
lagi versi dari DR. C. CYRUT seorang anthtropolog, dalam penelitiannya
menuturkan bahwa masyarakat Tana Toraja merupakan hasil dari proses
akulturasi antara penduduk lokal yang mendiami daratan Sulawesi Selatan
dengan pendatang yang notabene adalah imigran dari Teluk Tongkin
(daratan Tiongkok). Proses akulturasi antara kedua masyarakat tersebut,
berawal dari berlabuhnya Imigran Indochina dengan jumlah yang cukup
banyak di sekitar hulu sungai yang diperkirakan lokasinya di daerah
Enrekang, kemudian para imigran ini, membangun pemukimannya di daerah
tersebut.
Aluk
Aluk
adalah merupakan budaya/aturan hidup yang dibawa oleh kaum imigran dari
dataran Indochina pada sekitar 3000 tahun sampai 500 tahun sebelum
masehi.
Aluk Sanda Saratu
Tokoh
penting dalam penyebaran aluk ini antara lain: Tomanurun Tambora Langi’
yang merupakan pembawa aluk Sabda Saratu yang mengikat penganutnya
dalam daerah terbatas yakni wilayah Tallu Lembangna.
Aluk Sanda Pitunna (7777777)
Wilayah barat
Tokoh
penting dalam penyebaran aluk ini di wilayah barat Tana Toraja yaitu :
Pongkapadang bersama Burake Tattiu’ yang menyebarkan ke daerah
Bonggakaradeng, sebagian Saluputti, Simbuang sampai pada Pitu Ulunna
Salu Karua Ba’bana Minanga, dengan memperkenalkan kepada masyarakat
setempat suatu pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja “to
unnirui’ suke pa’pa, to ungkandei kandian saratu yakni pranata sosial
yang tidak mengenal strata.
Wilayah timur
Di
wilayah timur Tana Toraja, Pasontik bersama Burake Tambolang
menyebarkannya ke daerah Pitung Pananaian, Rantebua, Tangdu, Ranteballa,
Ta’bi, Tabang, Maindo sampai ke Luwu Selatan dan Utara dengan
memperkenalkan pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja : “To
Unnirui’ suke dibonga, To unkandei kandean pindan”, yaitu pranata sosial
yang menyusun tata kehidupan masyarakat dalam tiga strata sosial.
Wilayah tengah
Tangdilino
bersama Burake Tangngana menyebarkan aluk ke wilayah tengah Tana Toraja
dengan membawa pranata sosial “To unniru’i suke dibonga, To ungkandei
kandean pindan”.
Kesatuan adat
Seluruh
Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo ( wilayah Tana Toraja) diikat
oleh salah satu aturan yang dikenal dengan nama Tondok Lepongan Bulan
Tana Matari’ Allo yang secara harafiahnya berarti “Negri yang bulat
seperti bulan dan Matahari”. Nama ini mempunyai latar belakang yang
bermakna, persekutuan negeri sebagai satu kesatuan yang bulat dari
berbagai daerah adat. Ini dikarenakan Tana Toraja tidak pernah
diperintah oleh seorang penguasa tunggal, tetapi wilayah daerahnya
terdiri dari kelompok adat yang diperintah oleh masing-masing pemangku
adat dan ada sekitar 32 pemangku adat di Toraja.
Karena
perserikatan dan kesatuan kelompok adat tersebut, maka diberilah nama
perserikatan bundar atau bulat yang terikat dalam satu pandangan hidup
dan keyakinan sebagai pengikat seluruh daerah dan kelompok adat
tersebut.
Upacara adat
Di
wilayah Kab. Tana Toraja terdapat dua upacara adat yang amat terkenal ,
yaitu upacara adat Rambu Solo’ (upacara untuk pemakaman) dengan acara
Sapu Randanan, dan Tombi Saratu’, serta Ma’nene’, dan upacara adat Rambu
Tuka. Upacara-upacara adat tersebut di atas baik Rambu Tuka’ maupun
Rambu Solo’ diikuti oleh seni tari dan seni musik khas Toraja yang
bermacam-macam ragamnya.
Rambu Solo
Adalah
sebuah upacara pemakaman secara adat yang mewajibkan keluarga yang
almarhum membuat sebuah pesta sebagai tanda penghormatan terakhir pada
mendiang yang telah pergi.
Tingkatan upacara Rambu Solo
Upacara Rambu Solo terbagi dalam beberapa tingkatan yang mengacu pada strata sosial masyarakat Toraja, yakni:
- Dipasang Bongi: Upacara pemakaman yang hanya dilaksanakan dalam satu malam saja.
- Dipatallung Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama tiga malam dan dilaksanakan dirumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan.
- Dipalimang Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama lima malam dan dilaksanakan disekitar rumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan.
- Dipapitung Bongi:Upacara pemakaman yang berlangsung selama tujuh malam yang pada setiap harinya dilakukan pemotongan hewan.
Upacara tertinggi
Biasanya
upacara tertinggi dilaksanakan dua kali dengan rentang waktu sekurang
kurangnya setahun, upacara yang pertama disebut Aluk Pia biasanya dalam
pelaksanaannya bertempat disekitar Tongkonan keluarga yang berduka,
sedangkan Upacara kedua yakni upacara Rante biasanya dilaksanakan
disebuah lapangan khusus karena upacara yang menjadi puncak dari prosesi
pemakaman ini biasanya ditemui berbagai ritual adat yang harus
dijalani, seperti : Ma’ tundan, Ma’balun (membungkus jenazah), Ma’roto
(membubuhkan ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah), Ma’
Popengkalao Alang (menurunkan jenazah ke lumbung untuk disemayamkan),
dan yang terkahir Ma’ Palao (yakni mengusung jenazah ketempat
peristirahatan yang terakhir).
Berbagai kegiatan budaya yang menarik dipertontonkan pula dalam upacara ini, antara lain :
- Mapasilaga tedong (Adu kerbau), kerbau yang diadu adalah kerbau khas Tana Toraja yang memiliki ciri khas yaitu memiliki tanduk bengkok kebawah ataupun kerbau yang berkulit belang (tedang bonga), tedong bonga di Toraja sangat bernilai tinggi harganya sampai ratusan juta; Sisemba (Adu kaki)
- Tari tarian yang berkaitan dengan ritus rambu solo seperti : Pa’Badong, Pa’Dondi, Pa’Randing, Pa’Katia, Pa’papanggan, Passailo dan Pa’pasilaga Tedong; Selanjutnya untuk seni musiknya: Pa’pompang, Pa’dali-dali dan Unnosong.;
- Ma’tinggoro tedong (Pemotongan kerbau dengan ciri khas masyarkat Toraja, yaitu dengan menebas kerbau dengan parang dan hanya dengan sekali tebas), biasanya kerbau yang akan disembelih ditambatkan pada sebuah batu yang diberi nama Simbuang Batu.
Kerbau
Tedong Bonga adalah termasuk kelompok kerbau lumpur (Bubalus bubalis)
merupakan endemik spesies yang hanya terdapat di Tana Toraja. Ke-sulitan
pembiakan dan kecenderungan untuk dipotong sebanyak-banyaknya pada
upacara adat membuat plasma nutfah (sumber daya genetika) asli itu
terancam kelestariannya.
Menjelang
usainya Upacara Rambu Solo’, keluarga mendiang diwajibkan mengucapkan
syukur pada Sang Pencipta yang sekaligus menandakan selesainya upacara
pemakaman Rambu Solo’.
Rambu Tuka
Upacara
adat Rambu Tuka’ adalah acara yang berhungan dengan acara syukuran
misalnya syukuran panen dan peresmian rumah adat/tongkonan yang baru,
atau yang selesai direnovasi; menghadirkan semua rumpun keluarga, dari
acara ini membuat ikatan kekeluargaan di Tana Toraja sangat kuat semua
Upacara tersebut dikenal dengan nama Ma’Bua’, Meroek, atau Mangrara
Banua Sura’.
Untuk
upacara adat Rambu Tuka’ diikuti oleh seni tari : Pa’ Gellu, Pa’
Boneballa, Gellu Tungga’, Ondo Samalele, Pa’Dao Bulan, Pa’Burake,
Memanna, Maluya, Pa’Tirra’, Panimbong dan lain-lain. Untuk seni musik
yaitu Pa’pompang, pa’Barrung, Pa’pelle’. Musik dan seni tari yang
ditampilkan pada upacara Rambu Solo’ tidak boleh (tabu) ditampilkan pada
upacara Rambu Tuka’.
Nilai Tradisi Vs Keagamaan
DALAM
kepercayaan asli masyarakat Tana Toraja yang disebut Aluk Todolo,
kesadaran bahwa manusia hidup di Bumi ini hanya untuk sementara, begitu
kuat. Prinsipnya, selama tidak ada orang yang bisa menahan Matahari
terbenam di ufuk barat, kematian pun tak mungkin bisa ditunda.
Lalu,
ke manakah hidup setelah mati? Sesuai mitos yang hidup di kalangan
pemeluk kepercayaan Aluk Todolo, seseorang yang telah meninggal dunia
pada akhirnya akan menuju ke suatu tempat yang disebut puyo; dunia
arwah, tempat berkumpulnya semua roh. Letaknya di bagian selatan tempat
tinggal manusia. Hanya saja tidak setiap arwah atau roh orang yang
meninggal itu dengan sendirinya bisa langsung masuk ke puyo. Untuk
sampai ke sana perlu didahului upacara penguburan sesuai status sosial
semasa ia hidup. Jika tidak diupacarakan atau upacara yang dilangsungkan
tidak sempurna sesuai aluk (baca: ajaran dan tata cara peribadatan),
yang bersangkutan tidak dapat mencapai puyo. Jiwanya akan tersesat.
“Agar
jiwa orang yang ’bepergian’ itu tidak tersesat, tetapi sampai ke
tujuan, upacara yang dilakukan harus sesuai aluk dan mengingat pamali.
Ini yang disebut sangka’ atau darma, yakni mengikuti aturan yang
sebenarnya. Kalau ada yang salah atau biasa dikatakan salah aluk (tomma’
liong-liong), jiwa orang yang ’bepergian’ itu akan tersendat menuju
siruga (surga),” kata Tato’ Denna’, salah satu tokoh adat setempat, yang
dalam stratifikasi penganut kepercayaan Aluk Todolo mendapat sebutan
Ne’ Sando.
Selama
orang yang meninggal dunia itu belum diupacarakan, ia akan menjadi
arwah dalam wujud setengah dewa. Roh yang merupakan penjelmaan dari jiwa
manusia yang telah meninggal dunia ini mereka sebut tomebali puang.
Sambil menunggu korban persembahan untuknya dari keluarga dan kerabatnya
lewat upacara pemakaman, arwah tadi dipercaya tetap akan memperhatikan
dari dekat kehidupan keturunannya.
Oleh
karena itu, upacara kematian menjadi penting dan semua aluk yang
berkaitan dengan kematian sedapat mungkin harus dijalankan sesuai
ketentuan. Sebelum menetapkan kapan dan di mana jenazah dimakamkan,
pihak keluarga harus berkumpul semua, hewan korban pun harus disiapkan
sesuai ketentuan. Pelaksanaannya pun harus dilangsungkan sebaik mungkin
agar kegiatan tersebut dapat diterima sebagai upacara persembahan bagi
tomembali puang mereka agar bisa mencapai puyo alias surga
Jika
ada bagian-bagian yang dilanggar, katakanlah bila yang meninggal dunia
itu dari kaum bangsawan namun diupacarakan tidak sesuai dengan
tingkatannya, yang bersangkutan dipercaya tidak akan sampai ke puyo.
Rohnya akan tersesat. Sementara bagi yang diupacarakan sesuai aluk dan
berhasil mencapai puyo, dikatakan pula bahwa keberadaannya di sana juga
sangat ditentukan oleh kualitas upacara pemakamannya. Dengan kata lain,
semakin sempurna upacara pemakaman seseorang, maka semakin sempurnalah
hidupnya di dunia keabadian yang mereka sebut puyo tadi.
To na indanriki’ lino
To na pake sangattu’
Kunbai lau’ ri puyo
Pa’ Tondokkan marendeng
Kita
ini hanyalah pinjaman dunia yang dipakai untuk sesaat. Sebab, di
puyo-lah negeri kita yang kekal. Di sana pula akhir dari perjalanan
hidup yang sesungguhnya.
Bisa
dimaklumi bila dalam setiap upacara kematian di Tana Toraja pihak
keluarga dan kerabat almarhum berusaha untuk memberikan yang terbaik.
Caranya adalah dengan membekali jiwa yang akan bepergian itu dengan
pemotongan hewan-biasanya berupa kerbau dan babi-sebanyak mungkin. Para
penganut kepercayaan Aluk Todolo percaya bahwa roh binatang yang ikut
dikorbankan dalam upacara kematian tersebut akan mengikuti arwah orang
yang meninggal dunia tadi menuju ke puyo.
Kepercayaan
pada Aluk Todolo pada hakikatnya berintikan pada dua hal, yaitu
padangan terhadap kosmos dan kesetiaan pada leluhur. Masing-masing
memiliki fungsi dan pengaturannya dalam kehidupan bermasyarakat. Jika
terjadi kesalahan dalam pelaksanaannya, sebutlah seperti dalam hal
“mengurus dan merawat” arwah para leluhur, bencana pun tak dapat
dihindari.
Berbagai
bentuk tradisi yang dilakukan secara turun-temurun oleh para penganut
kepercayaan Aluk Todolo-termasuk ritus upacara kematian adat Tana Toraja
yang sangat dikenal luas itu-kini pun masih bisa disaksikan. Meski
terjadi perubahan di sana-sini, kebiasaan itu kini tak hanya dijalankan
oleh para pemeluk Aluk Todolo, masyarakat Tana Toraja yang sudah
beragama Kristen dan Katolik pun umumnya masih melaksanakannya. Bahkan,
dalam tradisi penyimpanan mayat dan upacara kematian, terjadi semacam
“penambahan” dari yang semula lebih sederhana menjadi kompleks dan
terkadang berlebihan.
Sebagai
contoh, ajaran Aluk Todolo menghendaki agar orang yang meninggal dunia
harus segera diupacarakan dan secepatnya dikuburkan. Maksud dari ajaran
ini, seperti dikutip oleh M Ghozali Badrie dalam penelitiannya tentang
“Penyimpanan Mayat di Tana Toraja”, supaya keluarga yang ditinggalkan
dapat melaksanakan upacara-upacara lain yang bersifat kegembiraan.
Sebab, adalah pamali atau melanggar ketentuan aluk bila upacara
kegembiraan (rambu tuka’) dilaksanakan bila ada orang mati (to mate).
Lalu apa yang terjadi? Untuk mengatasi hal yang berlawanan ini,
masyarakat Tana Toraja lalu mengatakan, mayat tersebut belum mati,
tetapi dianggap sebagai orang yang masih sakit (to makula). Dengan
begitu, mereka yang ingin melaksanakan upacara rambu tuka’ tidak
terhalang hanya karena ada mayat di kampung tersebut.
Mengapa
tradisi yang berangkat dari kepercayaan Aluk Todolo itu masih terus
bertahan, bahkan di kalangan mereka yang sudah memeluk agama Kristen dan
Katolik? Memang tak mudah untuk menemukan jawabannya. Masing-masing
mempunyai argumentasi yang bila disederhanakan adalah wujud dari
pewarisan tradisi dan bukan esensi kepercayaannya sebagai bagian dari
agama masa lalu.
“Sebagai adat, saya tidak melihat adanya pertentangan dengan gereja,” kata Pastor Stanislaus Ambalinggi’ Damen.
Bahkan,
Pastor Stanislaus melihat kalau saja gereja bisa menangkap dasar dari
semua itu, ada kemungkinan iman Kristiani di kalangan pemeluk Katolik di
Tana Toraja akan lebih tertanam. “Ini yang kami usahakan, yakni
bagaimana mengungkapkan apa yang diimani orang Tana Toraja dalam adatnya
bisa saling isi dengan ajaran Kristiani,” kata putra ke-7 (alm) Felix
Damen, yang pada pekan ketiga Oktober lalu melangsungkan upacara
pemakaman adat Tana Toraja bagi orangtuanya.
Sebagai
orang Tana Toraja, Pastor Stanislaus menyatakan, upacara kematian untuk
sang bapak yang ia adakan bersama saudara-saudaranya itu lebih
dimaksudkan sebagai ungkapan kerinduan, ungkapan kasih, terhadap orang
yang sudah meninggal. Lebih dari itu, tambahnya, bagi orang Tana Toraja
ada kesadaran yang muncul lewat upacara semacam ini, yakni bahwa dunia
ini tidak habis setelah kita meninggal dunia. Sebaliknya, kehidupan yang
sesungguhnya masih akan dilanjutkan ke dunia di “seberang” sana.
“Upacara
ini hanya jalan saja untuk menuju ke dunia ’seberang’ sana itu. Ini
menyangkut kesadaran akan kehidupan rohani orang Tana Toraja,” katanya.
Menyimak
kenyataan yang terpapar, tampaknya tradisi yang diwariskan ajaran Aluk
Todolo-khususnya dalam ritus-ritus pada upacara kematian-masih akan
terus bertahan. Entah hingga kapan! Meski di lain pihak banyak yang
mengecam bahwa upacara semacam itu hanyalah bentuk lain dari pemborosan,
namun kuatnya ikatan sosial di Tana Toraja berikut sistem yang
melingkupinya- termasuk semangat per-”lomba”-an untuk meningkatkan
status dan gengsi dalam masyarakat-jangan-jangan justru akan semakin
mengukuhkan ritus-ritus semacam itu.
Atau, akankah suatu saat berbagai tradisi tersebut akan pupus, ditendang oleh kemajuan zaman?
“Saya
tidak khawatir ini semua akan hilang. Yang saya khawatirkan justru
kalau orang membuatnya sekadar untuk show, sebagai performace. Kalau itu
yang terjadi, cuma untuk gengsi-gengsian, kerugianlah yang didapat.
Upacara ini memang bukan show, tetapi penghayatan/doa kita pada yang
meninggal supaya hidupnya di sana menjadi baik,” kata Pastor Stanislaus.
Hal
senada juga dikemukakan Tinting dari desa adat Ke’te’ Kesu’. Dia
berkata, “Di satu sisi memang terlihat terjadi pemborosan. Padahal, di
balik itu semua ada falsafah lain. Falsafat hidup setelah mati.”
Jika demikian halnya, mengapa tidak sebaiknya upacara-upacara kematian itu disederhanakan?
Pemakaman
Peti
mati yang digunakan dalam pemakaman dipahat menyerupai hewan (Erong).
Adat masyarakat Toraja adalah menyimpan jenazah pada tebing/liang gua,
atau dibuatkan sebuah rumah (Pa’tane).
Beberapa kawasan pemakaman yang saat ini telah menjadi obyek wisata, seperti di :
- Londa, yang merupakan suatu pemakaman purbakala yang berada dalam sebuah gua, dapat dijumpai puluhan erong yang berderet dalam bebatuan yang telah dilubangi, tengkorak berserak di sisi batu menandakan petinya telah rusak akibat di makan usia. Londa terletak di desa Sandan Uai Kecamatan Sanggalai’ dengan jarak 7 km dari kota Rantepao, arah ke Selatan, Gua-gua alam ini penuh dengan panorama yang menakjubkan 1000 meter jauh ke dalam, dapat dinikmati dengan petunjuk guide yang telah terlatih dan profesional.
- Lemo adalah salah satu kuburan leluhur Toraja, yang merupakan kuburan alam yang dipahat pada abad XVI atau setempat disebut dengan Liang Paa’. Jumlah liang batu kuno ada 75 buah dan tau-tau yang tegak berdiri sejumlah 40 buah sebagai lambang-lambang prestise, status, peran dan kedudukan para bangsawan di Desa Lemo. Diberi nama Lemo oleh karena model liang batu ini ada yang menyerupai jeruk bundar dan berbintik-bintik.
- Tampang Allo yang merupakan sebuah kuburan goa alam yang terletak di Kelurahan Sangalla’ dan berisikan puluhan Erong, puluhan Tau-tau dan ratusan tengkorak serta tulang belulang manusia. Pada sekitar abad XVI oleh penguasa Sangalla’ dalam hal ini Sang Puang Manturino bersama istrinya Rangga Bualaan memilih goa Tampang Allo sebagai tempat pemakamannya kelak jika mereka meninggal dunia, sebagai perwujudan dari janji dan sumpah suami istri yakni “sehidup semati satu kubur kita berdua”. Goa Tampang Alllo berjarak 19 km dari Rantepao dan 12 km dari Makale.
- Liang Tondon lokasi tempat pemakaman para Ningrat atau para bangsawan di wilayah Balusu disemayamkan yang terdiri dari 12 liang.
- To’Doyan adalah pohon besar yang digunakan sebagai makam bayi (anak yang belum tumbuh giginya). Pohon ini secara alamiah memberi akar-akar tunggang yang secara teratur tumbuh membentuk rongga-rongga. Rongga inilah yang digunakan sebagai tempat menyimpan mayat bayi.
- Patane Pong Massangka (kuburan dari kayu berbentuk rumah Toraja) yang dibangun pada tahun 1930 untuk seorang janda bernama Palindatu yang meninggal dunia pada tahun 1920 dan diupacarakan secara adat Toraja tertinggi yang disebut Rapasan Sapu Randanan. Pong Massangka diberi gelar Ne’Babu’ disemayamkan dalam Patane ini. tau-taunya yang terbuat dari batu yang dipahat . Jaraknya 9 km dari Rantepao arah utara.
- Ta’pan Langkan yang berarti istana burung elang. Dalam abad XVII Ta’pan Langkan digunakan sebagai makam oleh 5 rumpun suku Toraja antara lain Pasang dan Belolangi’. Makam purbakala ini terletak di desa Rinding Batu dan memiliki sekian banyak tau-tau sebagai lambang prestise dan kejayaan masa lalu para bangsawan Toraja di Desa Rinding Batu. Dalam adat masyarakat Toraja, setiap rumpun mempunyai dua jenis tongkonan tang merambu untuk manusia yang telah meninggal. Ta’pan Langkan termasuk kategori tongkonan tang merambu yang jaraknya 1,5 km dari poros jalan Makale-Rantepao dan juga dilengkapi dengan panorama alam yang mempesona.
- Sirope yang artinya “bertemu” adalah salah satu tempat pekuburan yang merupakan situs purbakala, dimana masyarakat membuat liang kubur dengan cara digantung pada tebing atau batu cadas. Lokasinya 2 km dari poros jalan Makale-Rantepao.
Tempat upacara pemakaman adat
Rante
yaitu tempat upacara pemakaman secara adat yang dilengkapi dengan 100
buah menhir/megalit yang dalam Bahasa toraja disebut Simbuang Batu. 102
bilah batu menhir yang berdiri dengan megah terdiri dari 24 buah ukuran
besar, 24 buah ukuran sedang dan 54 buah ukuran kecil. Ukuran menhir ini
mempunyai nilai adat yang sama, perbedaan tersebut hanyalah faktor
perbedaan situasi dan kondisi pada saat pembuatan/pengambilan batu.
Megalit/Simbuang Batu hanya diadakan bila pemuka masyarakat yang
meninggal dunia dan upacaranya diadakan dalam tingkat Rapasan
Sapurandanan (kerbau yang dipotong sekurang-kurangnya 24 ekor).
Tau-tau
Tau-tau
adalah patung yang menggambarkan almarhum. Pada pemakaman golongan
bangsawan atau penguasa/pemimpin masyarakat salah satu unsur Rapasan
(pelengkap upacara acara adat), ialah pembuatann Tau-tau. Tau-tau dibuat
dari kayu nangka yang kuat dan pada saat penebangannya dilakukan secara
adat. Mata dari Tau-tau terbuat dari tulang dan tanduk kerbau. Pada
jaman dahulu kala, Tau-tau dipahat tidak persis menggambarkan roman muka
almarhum namun akhir-akhir ini keahlian pengrajin pahat semakin
berkembang hingga mampu membuat persis roman muka almarhum.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
kurre sumanga' siulu' tu komentarmi